“Meski terdapat indikasi, saya meragukan usul yang menyebut bahwa seluruh mesin perang itu diisi dengan bahan bakar obat ini. Itu bukan cara obat tersebut bekerja,” ujar Snelders seperti dikutip dari CNN, Selasa (20/12/2016).
“Saya pikir obat itu digunakan secara pragmatis dan dikelola oleh dokter militer, tentara, dan warga yang mengonsumsi, namun buktinya masih minim dalam sebagian besar perang,” imbuh dia.
“Buku Norman Ohler menggambarkan budaya penggunakan obat-obatan yang diduga berkembang pada Reich Ketiga Jerman,” tulis seorang profesor peneliti di Oxford Brookes University, Paul Weindling, dalam sebuah artikel di jurnal Nature pada Oktober lalu.
Meski demikian, obat-obatan tersebut mempengaruhi sistem yang sama dengan cara yang sedikit berbeda. Menurut profesor farmakologi dan toksikologi di University of Utah, Kristen Keefe, metamfetamin dan kokain meningkatkan pelepasan dua neurotransmiter utama di otak–dopamin dan serotonin–yang memberikan sensasi penambahan energi dan euforia.
“Jika Anda memiliki tentara di lapangan, Anda tidak ingin membuat mereka merasakan sakit,” ujar Keefe. “Dampak negatifnya adalah opioid dapat dengan mudah membunuh jika seseorang mengalami overdosis.”
Metamfetamin, kokain, dan opioid telah digunakan secara luas dalam sejarah dalam pertempuran militer.
Menurut Methamphetamine and Other Illicit Drug Education di University of Arizona, Pemerintah Jerman, Inggris, Amerika, dan Jepang memberikan anggota militer mereka metamfetamine untuk meningkatkan ketahanan dan kewaspadaan serta menangkal kelelahan selama Perang Dunia II.
Baru-baru ini pejabat Amerika Serikat mengatakan, pada tahun lalu beberapa militan di Suriah diduga menggunakan Captagon, pil amfetamin yang dapat memberikan gelombang energi dan euforia tinggi.
Pada 2002, dua pilot tempur Amerika secara tak sengaja meluncurkan sebuah bom yang menewaskan empat tentara Kanada di Afghanistan selatan.
Seorang pengacara salah satu pilot berpendapat bahwa Angkatan Udara memaksa pilot untuk mengonsumsi amfetamin yang berdampak pada pengambilan keputusan mereka. Namun menurut Keefe, argumen pengacara itu ditolak dalam sidang.
“Pilot tersebut menggunakan Dexedrine atau dextroamphetamine, sebagia ‘go pills’ untuk membuat mereka tetap terjaga dan waspada,” ujar Keefe.
“Secara historis, obat itu digunakan untuk meningkatkan energi dan kemampuan agar pilot militer tetap terjaga,” imbuh dia.